ISTILAH ILMU HADITS
PENJELASAN MENGENAI ISTILAH ILMU HADITS
(Penjelasan Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam muqaddimah Kitabnya Bulughul Maram )
Perlu diketahui bahwa yang dimaksud dengan istilah Shahihain adalah kitab Shahih Bukhari dan Shahih Muslim. Setiap hadits yang diketengahkan oleh keduanya secara bersama melalui seorang sahabat disebut Muttafaq Alaih. Mengenai istilah Ushuulus Sittah atau dikenal dengan Sittah adalah Shahihain Sunan Imam Abu Dawud, Imam Tirmidzi, Imam An-Nasa-i, dan Imam Ibnu Majah. Mulai dari Abu Dawud hingga Ibnu Majah dikenal dengan istilah Arba’ah yang masing masing memiliki kitab Sunan. Akan tetapi, ada sebagian ulama yang tidak memasukan Imam Ibnu Majah kedalam Arba’ah dan menggantinya dengan Al-Muwaththa’ atau dengan Musnad Ad-Darimi. Sab’ah terdiri dari Imam Ahmad, Bukhari, Muslim, Abu Dawud, At-Tirmidzi, An-Nasai, dan Ibnu Majah. Sittah terdiri dari Imam Bukhari, Muslim, Abu Dawud, At-Tirmidzi, An-Nasai dan Ibnu Majah. Khamsah terdiri dari Imam Ahmad, Abu Dawud, At-Tirmidzi, An-Nasai dan Ibnu Majah. Arba’ah terdiri dari Imam Abu Dawud, At-Tirmidzi, An-Nasai dan Ibnu Majah. Tsalaatsah terdiri dari Imam Abu Dawud, At-Tirmidzi dan An-Nasai. Muttafaq ‘Alaih terdiri dari Imam Bukhari dan Muslim.
Istilah istilah Hadits
Matan =materi hadits yang berakhir dengan sanad.
Sanad =para perawi yang menyampaikan kepada matan.
Isnad = rentetan sanad hingga sampai ke matan, sebagai contoh ialah
“Dari Muhammad Ibnu Ibrahim, dari Alqamah ibnu Waqqash, dari Umar Ibnu Khaththab bahwa Rasullullah saw pernah bersabda: Sesungguhnya semua amal perbuatan itu berdasarkan niat masing masing.” Sabda Nabi saw yang mengatakan: ”Sesungguhnya semua amal perbuatan itu berdasarkan niat masing-masing” disebut matan, sedangkan diri para perawi disebut sanad, dan yang mengisahkan sanad disebut isnad.
Musnad = hadits yang isnadnya mulai dari permulaan hingga akhir berhubungan, dan kitab yang menghimpun hadits hadits setiap perawi secara tersendiri, seperti kitab Musnad Imam Ahmad.
Musnid =orang yang meriwayatkan hadits berikut isnadnya.
Al Muhaddits = orang yang ahli dalam bidang hadits dan menekuninya secara riwayat dan dirayah (pengetahuan).
Al-Haafizh =orang yang hafal seratus ribu buah hadits baik secara matan maupun isnad.
Al-Hujjah = orang yang hafal tiga ratus ribu hadits.
Al-Haakim = orang yang menguasai sunnah tetapi tidak memfatwakannya melainkan sedikit.
Pembagian Hadits
1. Hadits bila ditinjau dari segi thuruq (jalur periwayatannya) terbagi menjadi muttawatir dan ahad.
a. Hadits Muttawatir = hadits yang memenuhi empat syarat , yaitu :
= diriwayatkan oleh segolongan orang yang banyak jumlahnya.
= menurut kebiasaan mustahil mereka sepakat dalam kedustaan.
= mereka meriwayatkannya melalui orang yang semisal mulai dari permulaan hingga akhir.
= hendaknya musnad terakhir dari para perawi berpredikat hasan (baik).
Hadits muttawatir dapat memberikan faedah ilmu yang bersifat dharuri, atau dengan kata lain ilmu yang tidak dapat ditolak lagi kebenarannya. Contoh hadits muttawatir adalah hadits yang mengatakan :
“Barang siapa yang berdusta terhadapku atau atas namaku dengan sengaja, maka hendaklah dia bersiap siap menempati tempat duduknya dari api neraka.”
b. Hadits Ahad = hadits yang di dalamnya terdapat cacat pada salah satu syarat muttawatirnya. Hadits ahad dapat memberikan faedah yang bersifat zhan dan adakalanya dapat memberikan ilmu yang bersifat nazhari (teori) apabila dibarengi dengan bukti yang menunjukkan kepadanya.
Pembagian hadits ahad ada tiga yaitu :
1. hadits sahih = hadits yang diriwayatkan oleh orang yang adil, memiliki hafalan yang sempurna sanad nya muttashil (berhubungan dengan yang lainnya) lagi tidak mu’allal (tercela) dan tidak pula syadz (menyendiri). Istilah adil yang dimaksud ialah adil riwayatnya, yakni seorang muslim yang telah aqil baliq, bertaqwa dan menjauhi semua dosa dosa besar. Pengertian adil ini mencakup laki-laki, wanita, orang merdeka dan budak belian.
Istilah dhabth ialah hafalan. Ada dua macam dhabth yaitu :
• dhabth shard ialah orang yang bersangkutan hafal semua hadits yang diriwayatkannya di luar kepala dengan baik.
• dhabth kitab yaitu orang yang bersangkutan memelihara pokok hadits yang dia terima dari gurunya dari perubahan perubahan (atau dengan kata lain text-book).
Mu’allal = hadits yang dimasuki oleh suatu ‘illat (cela) yang tersembunyi hingga mengharuskannya dimauqufkan (diteliti lebih mendalam).
Syadz =hadits yang orang tsiqah (yang dipercaya) nya berbeda dengan orang yang lebih tsiqah darinya.
2. hadits hasan = hadits yang diriwayatkan oleh orang yang adil. hafalannya kurang sempurna tetapi sanad
nya muttashil lagi tidak mu’allal dan tidak pula syadz. Apabila hadits hasan ini kuat karena didukung oleh satu jalur atau dua jalur periwayatan lainnya, maka predikatnya naik menjadi shahih lighairihi.
3. hadits dha’if =hadits yang peringkatnya dibawah hadits hasan dengan pengertian karena didalamnya terdapat cela pada salah satu syarat hasan. Apabila hadits dha’if menjadi kuat karena didukung oleh jalur periwayatan lainnya atau sanad lainnya maka predikatnya naik menjadi hasan lighairihi.
Shahih dan hasan keduanya dapat diterima. Dha’if ditolak maka tidak dapat dijadikan sebagai hujjah, kecuali dalam masalah keutamaan beramal tetapi dengan syarat predikat dha’ifnya tidak terlalu parah dan subyek yang diketengahkan masih termasuk ke dalam pokok syariat, serta tidak berkeyakinan ketika mengamalkannya sebagai hal yang telah ditetapkan melainkan tujuan dari pengamalannya hanyalah untuk bersikap hati-hati dalam beramal.
2. Hadits bila ditinjau dari perawinya terbagi menjadi :
a. hadits masyhur = hadits yang diriwayatkan oleh tiga orang atau lebih, tetapi masih belum memenuhi syarat muttawatir. Terkadang diucapkan pula terhadap hadits yang telah terkenal hingga menjadi buah bibir, sekalipun hal itu maudhu’ (palsu).
b. hadits ‘aziz = hadits yang diriwayatkan oleh dua orang perawi saja, sekalipun masih dalam satu thabaqah (tingkatan) karena sesungguhnya jumlah perawi yang sedikit pada mayoritasnya dapat dijadikan pegangan dalam bidang ilmu ini.
c. hadits gharib =hadits yang diriwayatkan oleh seorang perawi sekalipun dalam salah satu thabaqah.
Hadits gharib terbagi menjadi dua macam yaitu :
• gharib muthlaq yang artinya hadits yang kedapatan menyendiri dalam pokok sanadnya.
• gharib nisbi yang artinya hadits yang kedapatan menyendiri pada sanad selanjutnya.
3. Hadits terbagi pula menjadi dua bagian lainnya yaitu maqbul dan mardud :
a. hadits maqbul =hadits yang dapat dijadikan hujjah yang didalamnya terpenuhi syarat-syarat hadits shahih atau hadits hasan. Hadits maqbul terbagi menjadi empat yaitu :
- shahih lidzatihi yaitu hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang adil, sempurna hafalannya, muttashil
sanadnya, tidak mu’allal dan tidak pula syadz. Shahih lidzatihi ini berbeda beda peringkatnya menurut perbedaan sifat yang telah disebutkan tadi.
- shahih lighairihi yaitu hadits yang mengandung sebagian sifat yang ada pada hadits maqbul, paling sedikit. Akan tetapi dapat ditemukan hal hal yang dapat menyempurnakan kekurangannya itu, seumpamanya ada hadits yang sama diriwayatkan melalui satu atau banyak jalur lainnya.
- hasan lidzatihi yaitu hadits yang dinukil oleh seseorang yang adil, ringan hafalannya (kurang sempurna) muttashil sanadnya, melalui orang yang semisal dengannya, hanya tidak mu’allal dan tidak pula syadz.
- hasan lighairihi yaitu hadits yang masih ditangguhkan penerimaannya tetapi telah ditemukan di dalam nya hal hal yang menguatkan segi penerimaannya. Contohnya ialah hadits yang didalam sanadnya terdapat orang yang keadaannya masih belum diketahui atau orang yang buruk hafalannya.
Hadits Maqbul pun terbagi menjadi :
1. Muhkam yaitu hadits yang tidak ada hadits lain yang menentangnya.
2. Mukhtalaf yaitu haidts yang didapatkan ada hadits lain yang menentangnya tetapi masih dapat digabungkan diantara keduanya.
3. Nasikh yaitu hadits yang datang kemudian isinya menentang hadits yang semisal.
4. Rajih yaitu hadits yang dapat diterima, kandungannya menentang hadits yang semisal yang mendahuluinya karena adanya penyebab yang mengharuskan demikian, sedangkan menggabungkan keduanya tidak mungkin, lawan dari rajah ialah marjuh.
b. hadits mardud= hadits yang didalamnya tidak terpenuhi syarat-syarat shahih dan hasan . Hadits mardud ini tidak dapat dijadikan hujjah dan terbagi pula menjadi dua bagian yaitu :
¨. mardud yang disebabkan adanya keguguran dalam isnad (sanad)nya, terbagi menjadi lima macam :
a. mu’allaq yaitu hadits yang dari awal sanadnya gugur seorang perawi, dan termasuk ke dalam hadits mu’allaq ialah hadits yang semua sanadnya dibuang.
b. mursal yaitu hadits yang dinisbatkan oleh seorang tabi’in kepada Nabi saw.
c. mu’adhdhal yaitu hadits yang gugur darinya dua orang perawi secara berturut turut.
d. munqathi yaitu haidts yang gugur darinya seorang atau dua orang perawi, tetapi tidak berturut turut.
e. mudallas yaitu hadits yang terdapat keguguran didalamnya tetapi tersembunyi, sedangkan ungkapan periwayatnya memakai istilah ‘an (dari). Contohnya dia menggugurkan nama gurunya, lalu menukil dari orang yang lebih atas daripada gurunya dengan memakai ungkapan yang memberikan pengertian kepada si pendengar bahwa hal itu dinukilnya secara langsung, contoh ini dinamakan mudallas isnad. Adakalanya, nama gurunya tidak digugurkan, tetapi gurunya itu digambarkan dengan sifat yang tidak dikenal, contoh seperti ini dinamakan mudallas syuyukh. Adakalanya, dia menggugurkan seorang perawi
dha’if di antara dua orang perawi yang tsiqah, contoh ini dinamakan mudallas taswiyah.
¨. mardud karena adanya cela terbagi menjadi empat macam :
a. maudhu’ yaitu hadits yang perawinya dusta mengenainya.
b. matruk yaitu hadits yang celanya disebabkan perawi dicurigai sebagai orang yang dusta.
c. munkar yaitu hadits yang celanya karena kebodohan siperawinya atau karena kefasikannya.
d. mu’allal yaitu hadits yang celanya karena aib yang tersembunyi, tetapi lahiriahnya selamat, tidak tampak aib.
Termasuk kedalam kategori tercela ialah yang disebabkan idraj (kemasukan). Jenis ini ada dua macam :
• mudraj matan ialah hadits yang didalamnya ditambahkan sebagian dari lafazh perawi, baik pada permulaan, tengah-tengah atau bagian akhirnya. Adakalanya untuk menafsirkan lafazh yang gharib (sulit) seperti yatahannatsu (yata’abbadu) yang artinya beribadah.
• mudraj isnad ialah hadits yang didalamnya ditambahkan isnadnya seperti menghimpun beberapa sanad dalam satu sanad tanpa penjelasan.
Termasuk kedalam pengertian tha’n (cacat) ialah qalb, yaitu hadits yang maqlub (terbalik) disebabkan seorang perawi bertentangan dengan perawi lain yang lebih kuat darinya karena mendahulukan atau mengakhirkan sanad atau matan. Termasuk pula kedalam pengertian tha’n ialah idhthirab yakni hadits yang mudhtharib yaitu hadits yang perawinya bertentangan dengan perawi lain yang lebih kuat dari padanya dalam sanad, matan atau dalam kedua-duanya, padahal tidak ada murajjih (yang menentukan mana yang lebih kuat dari pada keduanya) sedangkan menggabungkan keduanya merupakan hal yang tidak dapat dilakukan.
Termasuk kedalam pengertian tha’n ialah tashhif yaitu hadits mushahhaf dan tahrif (hadits muharraf). Hadits mushahhaf ialah cela yang ada padanya disebabkan seorang perawi bertentangan dengan perawi lainnya yang lebih kuat dalam hal titik. Jika ada pertentangan itu dalam hal harakat, maka dinamakan hadits muharraf. Termasuk kedalam pengertian tha’n ialah jahalah, juga disebut ibham (misteri), bid’ah, syudzudz, dan ikhtilath.
• hadits mubham ialah hadits yang didalamnya ada seorang perawi atau lebih yang tidak disebutkan namanya.
• hadits mubtadi’ ialah jika bid’ahnya mendatangkan kekufuran, maka perawinya tidak dapat diterima, jika bid’ahnya menimbulkan kefasikan, sedangkan perawinya orang yang adil dan tidak menyeru kepada
bid’ah tersebut, maka haditsnya dapat diterima.
• hadits syadz ialah hadits yang seorang perawi tsiqahnya bertentangan dengan perawi yang lebih tsiqah darinya. Lawan kata dari hadits syadz ialah hadits mahfuzh, yaitu hadits yang seorang perawi tsiqahnya bertentangan dengan hadits perawi lainnya yang tsiqahnya masih berada di bawah dia.
• hadits mukhtalath ialah hadits yang perawinya terkena penyakit buruk hafalan disebabkan otaknya terganggu, misalnya akibat pengaruh usia yang telah lanjut (pikun). Hukum haditsnya dapat diterima sebelum akalnya terganggu oleh buruk hafalannya, adapun sesudah terganggu tidak dapat diterima. Jika tidak dapat dibedakan antara zaman sebelum terganggudan zaman sesudahnya, maka senuanya ditolak.
4. Hadits bila dipandang dari segi matan dan sanad terbagi menjadi :
a. hadits marfu’ ialah hadits yang disandarkan kepada Rasullullah saw baik secara terang terangan maupun secara hukum.
b. hadits mauquf ialah hadits yang sanadnya terhenti sampai kepada seorang sahabat tanpa adanya tanda tanda yang menunjukan marfu’, baik secara ucapan maupun perbuatan.
c. hadits maqthu’ ialah hadits yang isnad (sanad) nya terhenti sampai kepada seorang tabi’in.
d. hadits muthlaq ialah hadits yang bilangan perawinya sedikit bila dibandingkan dengan sanad lainnya dan sanad sampai kepada Rasullullah saw. Lawan dari al-muthlaq ialah hadits nazil muthlaq.
e. hadits al nasabi ialah hadits yang perawinya sedikit bila dibandingkan dengan f. hadits nazil nasabi ialah lawan haidts al nasabi. Hadits al nasabi lebih ke shahih karena kekeliruannya sedikit. hadits nazil nasabi ini tidak disukai kecuali karena sanad lainnya dan berakhir sampai kepada seorang Imam terkenal seperti Imam Malik, Imam Syafi’ie, Imam Bukhari dan Imam Muslim.
keistimewaan khusus yang ada pa dan Mukhtalif, Mutasyabih, Muhmal, serta Sabiq dan Lahiq.danya.
Oleh : Abu Abdil Bari, Muhammad Yani Abdul Karim, Lc, MAg
I. PENGERTIAN ISNAD DAN URGENSINYA
Sanad adalah pengabaran (penyampaian) dengan melalui matan. Sedangkan isnad maknanya adalah mengangkat hadits (ucapan) sampai kepada orang yang mengucapkannya. Para Muhadditsin menggunakan istilah sanad dan isnad untuk hal yang sama, yakni silsilah (rangkaian) rijaal (periwayat hadits) yang menyampaikan ke matan. Adapun matan adalah apa yang sampai padanya ujung sanad berupa ucapan.
Isnad merupakan suatu kekhususan yang utama bagi ummat ini dimana dia tidak ada pada ummat-ummat terdahulu. Oleh karena itulah hilang atau berubahlahlah kitab-kitab samawiyah yang ada pada mereka. Sebagaimana telah hilang hadits-hadits (ucapan dan berita) tentang nabi-nabi mereka dan posisinya digantikan oleh kebohongan dan kedustaan.
Isnad memiliki kedudukan yang agung dalam Islam, karena asalnya adalah ummat menerima agama ini dari sahabat dan mereka menerimanya dari Rasulullah shallallohu alaihi wasallam dan beliau menerimanya dari Rabbul-izzah baik dengan perantara ataupun tidak. Dan diriwayatkan dengan jalan shohih dari Abdullah bin Abbas radhiyallohu anhuma bahwasanya Rasulullah shallallohu alaihi wasallam bersabda :
تَسْمَعُونَ وَيُسْمَعُ مِنْكُمْ وَيُسْمَعُ مِمَّنْ سَمِعَ مِنْكُمْ
Artinya : “Kalian mendengar lalu didengar dari kamu dan didengar dari yang mendengar dari kamu” (HR. Abu Daud dan Ahmad, keduanya dengan sanad yang shohih)
Imam Muslim meriwayatkan dengan sanadnya dari Abdullah bin Mubarak bahwasanya beliau berkata:
« الْإِسْنَادُ مِنْ الدِّينِ وَلَوْلَا الْإِسْنَادُ لَقَالَ مَنْ شَاءَ مَا شَاءَ »
“Isnad itu bagian dari din, kalaulah bukan isnad maka orang akan mengatakan sekehendaknya”
Dan beliau (Muslim) meriwayatkan juga dengan isnadnya dari Ibnu Sirin ucapannya :
« إِنَّ هَذَا الْعِلْمَ دِينٌ فَانْظُرُوا عَمَّنْ تَأْخُذُونَ دِينَكُمْ »
“Sesungguhnya ilmu ini adalah agama, maka lihatlah dari siapa kamu mengambil agama kamu”
Imam Muslim meriwayatkan dengan isnadnya dari Imam Abdullah ibnul Mubarak bahwa ia berkata:
« بَيْنَنَا وَبَيْنَ الْقَوْمِ الْقَوَائِمُ يَعْنِي الْإِسْنَادَ »
“Antara kita dengan kaum-kaum itu (yang berdusta atas nama hadits) adalah isnad”
Ibnu Hibban meriwayatkan dari Imam Sofyan Ats Tsauri ucapannya :
«الإِسْنَادُ سِلَاحُ المُؤْمِنِ فَإِذَا لَمْ يَكُنْ مَعَهُ السلَاح فَبِأَي شَيءٍ يُقَاتِلُ»
“Isnad itu adalah senjata seorang mukmin, maka kalau ia tidak punya senjata dengan apa ia berperang?”
II. MUNCULNYA ILMU RIJAAL
a. Mulainya penggunaan isnad
Penggunaan isnad ini sebenarnya telah ada di masa sahabat Rasulullah shallallohu alaihi wasallam yaitu bermula dari sikap taharri (kehati-hatian) mereka terhadap berita yang datang kepada mereka, sebagaimana diriwayatkan dari Abu Bakar Ash Shiddiq radhiyallohu anhu dalam kisah nenek yang datang meminta bagian warisan, kemudian kisah Umar bin Al Khaththab radhiyallohu anhu dalam peristiwa isti’dzan (minta izinnya) Abu Musa, juga kisah tatsabbut (klarifikasi) Ali bin Abi Thalib radhiyallohu anhu dimana beliau meminta bersumpah bagi orang yang menyampaikan padanya hadits Rasulullah shallallohu alaihi wa sallam.
Hanya saja makin banyaknya pertanyaan terhadap isnad dan makin intensnya orang meneliti dan memeriksa isnad, itu mulai terjadi setelah terjadinya fitnah Abdullah bin Saba dan pengikut-pengikutnya yaitu di akhir-akhir kekhalifaan Utsman bin Affan radhiyallohu anhu dan penggunaan sanad terus berlangsung dan bertambah seiring dengan menyebarnya para Ashabul-ahwaa(pengikut hawa nafsu) di tengah-tengah kaum muslimin, juga banyaknya fitnah yang mengusung kebohongan sehingga orang-orang tidak mau menerima hadits tanpa isnad agar supaya mereka mengetahui perawi-perawi hadits tersebut dan mengenali keadaan mereka.
Imam Muslim meriwayatkan dengan isnadnya dari Muhammad bin Sirin bahwasanya beliau berkata :
« لَمْ يَكُونُوا يَسْأَلُونَ عَنْ الْإِسْنَادِ فَلَمَّا وَقَعَتْ الْفِتْنَةُ قَالُوا سَمُّوا لَنَا رِجَالَكُمْ فَيُنْظَرُ إِلَى أَهْلِ السُّنَّةِ فَيُؤْخَذُ حَدِيثُهُمْ وَيُنْظَرُ إِلَى أَهْلِ الْبِدَعِ فَلَا يُؤْخَذُ حَدِيثُهُمْ «
“Dahulu orang-orang tidak pernah menanyakan isnad, akan tetapi setelah terjadi fitnah maka dilihat hadits Ahli Sunnah lalu diterima dan dilihat haditsnya ahlil-bida’ lalu tidak diterima (ditolak)”
Ali ibnul Madini mengatakan bahwa Muhammad bin Sirin adalah orang yang selalu melihat hadits dan memeriksa isnadnya, kami tidak mengetahui seorang pun yang lebih dahulu darinya.
b. Munculnya ilmu Rijal
Kemunculan ilmu Rijal merupakan buah dari berkembang dan menyebarnya penggunaan isnad serta banyaknya pertanyaan tentangnya. Dan setiap maju zaman, maka makin banyak dan panjang jumlah perowi dalam sanad. Maka perlu untuk menjelaskan keadaan perawi tersebut dan memisah-misahkannya, apalagi dengan munculnya bid’ah-bid’ah dan hawa nafsu serta banyaknya pelaku dan pengusungnya. Karena itu tumbuhlah ilmu Rijaal yang merupakan suatu keistimewaan ummat ini di hadapan ummat-ummat lainnya.
Akan tetapi kitab-kitab tentang ilmu Rijal nanti muncul setelah pertengahan abad-2. Dan karya tulis ulama yang pertama dalam hal ini adalah kitab At Tarikh yang ditulis oleh Al Laits bin Sa’ad (wafat 175 H) dan kitab Tarikh yang disusun oleh Imam Abdullah bin Mubarak (wafat 181 H). Imam adz Dzahabi menyebutkan bahwa Al Walid bin Muslim (wafat 195 H) juga memiliki sebuah kitab Tarikh Ar Rijaal, lalu secara berturut-turut muncul karya-karya tulis dalam ilmu ini, dimana sebelum masa kodifikasi ini pembahasan tentang perowi hadits dan penjelasan hal ihwal mereka hanya bersifat musyafahah(lisan), ditransfer sedemikian rupa oleh para ulama dari masa ke masa.
III. CABANG-CABANG ILMU RIJAL
Para penyusun kitab-kitab dalam ilmu Rijal pada masa-masa awal menempuh beberapa metode sehingga hal ini melahirkan percabangan dalam ilmu rijal al hadits, diantaranya:
1. Kitab-kitab tentang Thobaqat ar Rijal melahirkan ilmu thobaqaat (tingkatan-tingkatan rijal) yang mencakup 4 thabaqat (sahabat, taabi’un, atbaa’ut tabi’in dan taba’ul atba’)
2. Kitab-kitab Ma’rifah Ash Shohaabah melahirkan ilmu tentang ma’rifatush shohabah (pengenalan tentang sahabat-sahabat Rasulullah shallallohu alaihi wasallam)
3. Kitab-kitab al jarh wat ta’dil melahirkan ilmu tentang al jarh wat ta’dil
Ketiga jenis kitab rijal ini pertama kali muncul di sekitar penghujung abad II H dan pertengahan abad III H, setelah itu menjadi banyak dan meluas
1. Kitab-kitab Tawarikh al Mudun (sejarah kota-kota/negeri-negeri), yang memuat biografi para ruwaat (rijaalul hadits) pada suatu negeri/kota tertentu. Ilmu ini mulai muncul pada paruh kedua dari abad III H
2. Kitab-kitab Ma’rifatul Asmaa wa Tamyiizuha (pengenalan terhadap nama-nama perowi dan cara membedakannya). Ilmu ini muncul agak belakangan dari yang lainnya, yaitu setelah jumlah periwayat dari yang lainnya, yaitu setelah jumlah periwayat hadits semakin banyak, dan nama kuniyah dan nasab mereka banyak yang serupa sehingga dibutuhkan pembedaannya.
3. Kitab-kitab biografi rijaal al hadits yang terdapat pada suatu kitab hadits atau beberapa kitab hadits tertentu. Kitab-kitab ini muncul belakangan dan mulai meluas setelah abad V H.
IV. SEKILAS TENTANG ILMU THOBAQAT
Thobaqat dalam istilah Muhadditsin adalah suatu kaum yang berdekatan dalam umur dan isnad, atau dalam isnadnya saja, yang mana syuyukh (guru) dari seseorang adalah syuyukh juga bagi yang lain atau mendekati syuyukhnya yang lain.
Asal mula pembagian perowi berdasarkan thabaqat adalah dari tuntunan Islam sendiri, dimana dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Imran bin Hushain radhiyallohu anhu, bahwasanya Rasulullah shallallohu alaihi wasallam bersabda: “Sebaik-baik ummatku yang ada di zamanku, kemudian yang datang sesudah mereka, kemudian yang datang sesudah mereka…” Kata Imran radhiyallohu anhu, “Saya tidak tahu apakah ia menyebut sesudah masanya dua masa atau tiga” (HR. Bukhari)
Ilmu ini telah muncul dan berkembang di tangan para ulama hadits sejak abad ke-2 H. Ilmu ini tidak terbatas pada pembagian ruwaat atas thabaqat berdasarkan perjumpaan mereka terhadap syuyukh, tapi juga berkembang di kalangan muhadditsin kepada pembagian mereka berdasarkan makna dan I’tibar yang lainnya seperti fadhl (keistimewaan) dan sabiqah (kesenioran) sebagaimana dalam hal sahabat, atau hal (keadaan) dan manzilah (kedudukan) seperti yang disebutkan oleh Abbas Ad Dauraqi (wafat 271 H), ada thabaqat fuqaha, thabaqat ruwaat, thabaqaat mufassirin dan seterusnya
Penyusunan kitab-kitab yang berkaitan dengan ilmu ini terus berlanjut dan berkembang hingga akhir abad-9 H. Bahkan muncul system pembagian thobaqat dalam bidang keilmuan yang lain. Misalnya thabaqaat al qurra, thobaqaat al fuqahaa, thobaqaat ash shufiyah, thobaqaat asy syu’ara dan sebagainya.
Imam As Sakhawi mengatakan, “Faidah ilmu thabaqaat ini adalah keamanan dari bercampurnya al mutasyabihin (para rijal hadits yang memiliki kesamaan); seperti yang sama namanya atau kuniyahnya atau yang lain, kita dapat juga menelaah terjadinya tadlis secara jelas dan menyingkap hakikat an’anah untuk mengetahui hadits yang mursal atau munqathi’ dan membedakannya dari yang musnad…”
V. THABAQAT RUWAAT (RIJALUL ISNAD)
Ada empat thabaqat yang pokok bagi ruwaat/rijaalul (para perawi) hadits, yaitu :
Thobaqah Pertama : Sahabat
Thobaqah Kedua : At Taabi’un
Thobaqah Ketiga : Atbaa’ut Taabi’in
Thobaqah Keempat : Taba’ul Atbaa’
A. Pendahuluan
Hal yang terpenting dari sebuah agama adalah sumber ajarannya. Bagi orang Islam sumber ajarannya yang pertama adalah al-Qur’an yang dicatat dalam mushaf. Harus diakui bahwa untuk memahami dan mengamalkan kandungan al-Qur’an diperlukan adanya penjelasan. Karena Rasul yang membawa al-Qur’an, maka dia jugalah yang paling berhak mengulas dan memberikan penjelasan.
Oleh karena itu, sudah merupakan keniscayaan, bahwa hadis—sebagai sesuatu yang berasal dari Nabi—adalah sebuah perantara untuk mencapai petunjuk Allah bagi umat manusia. Tujuan Allah mengutus Nabi-Nya tidak hanya sekedar untuk menyampaikan wahyu kepada manusia. Peranan Nabi dalam memahamkan wahyu kepada manusia sangatlah penting karena wahyu akan menjadi hujjahAllah bagi manusia hanya ketika dia mampu memahami wahyu tersebut. Maka apabila diandaikan bahwa seribu nabi diutus kepada seorang manusia, sementara dia tidak mampu memahaminya, wahyu tidak akan menjadi hujjah bagi dirinya karena hujjah adalah sesuatuyang telah dipahami oleh manusia kemudian dapat diyakini. Wahyu tidak akan menjadi hujjah hanya dengan sampainya wahyu kepada manusia melalui gelombang suarayang dapat didengar oleh telinga dan selesai, meskipun tidak dapat dipahami. Wahyu adalah hujjah jika sudah dipahami oleh manusia. Tapi tidak ada alasan lagi manusia dihadapanAllah untuk tidak mampu memahami al-Qur’an karena Allah telah mengutus seorang Nabi untuk menjabarkan wahyu-Nya sehingga dapat dipahami oleh manusia. Allah hanya menunggu saja apa tindakan manusia selanjutnya terhadap wahyu yang telah dipahaminya. jika menjalankannya maka pahala, jika tidak maka sebaliknya, azab. Berangkat dari hal ini, hadis menjadi sumber ajaranyang kedua dalam Islam setelah al-Qur’an.
Sebagai sumber ajaran Islam yang kedua setelah al-Qur’an, hadis haruslah dapat terjamin keotentikannya, bahwa hadis tersebut benar-benar berasal dari Rasulullah, Muhammad SAW. Berbeda dengan al-Qur’anyang diriwayatkan secara mutawatir, hadis diriwayatkan sebagian dengan mutawatir dan sebagian yang lain diriwayatkan secara ahad serta mengingat jauhnya rentang jarak antara pendokumentasian hadis dengan saat penyampaiannya, dan pendokumentasian hadis tersebut terjadi setelah banyak terjadinya pemalsuan hadis. Oleh karenanya, perlu dilakukan kegiatan penelitian terhadap hadis
.
B. Rumusan Masalah
Makalah ini akan membahas metodologi penelitian hadis dengan beberapa rumusan masalah, antara lain :
1. Faktor apa saja yang melatar belakangi pentingnya penelitian hadis?
2. Apa yang menjadi objek penelitian hadis?
3. Bagaimana langkah-langkah yang perlu dilakukan dalam penelitian hadis?
C. Sistematika Pembahasan
Untuk memberikan gambaran yang utuh, maka dalam penulisan makalah ini, penulis menggunakan sistematika sebagai berikut:
Bab pertama berisi pendahuluan, rumusan masalah dan sistemtika penulisan makalah.
Bab kedua adalah pembahasan yang terdiri dari latar belakang pentingnya penelitian hadis, aspek-aspek dan obyek penelitian hadis, dan langkah-langkah penelitian hadis.
Bab terakhir atau bab tiga adalah kesimpulan.
Metodologi Penelitian Hadits
Mahrus eL-Mawa
Muqaddimah
Para pemerhati dan pemikir keislaman yang kritis, sudah cukup lama
peduli pada sumber ajaran Islam, terutama al-hadits an-nabi saw.[1]
Begitu pula dengan penelitian terhadapnya, telah banyak juga dilakukan
mereka,[2] termasuk di dalamnya adalah para orientalis (baca:
Islamolog Barat). Mengingat, Hadits Nabi SAW. adalah juga petunjuk
bagi umat Islam setelah al-Qur'an, yang sekaligus merupakan penjelas
utama al-Qur'an.[3]
Alasan lainnya adalah bahwa tidak seluruh Hadits ditulis pada zaman
Nabi SAW. [4]; sebagian Hadits Nabi SAW. didapati telah dipalsukan;
proses penghimpunan Hadits Nabi SAW. memakan waktu cukup lama; jumlah
kitab Hadits Nabi SAW. cukup banyak dengan metode penyusunan yang
berbeda-beda, dan; telah terjadinya periwayatan Hadits secara
Maknawi.[5]
Analisis Fazlur Rahman menyebutkan, bahwa secara historis Hadits Nabi
SAW. dalam rangka formalisasinya untuk dijadikan sebagai otoritas
pasca al-Qur'an itu telah mengalami evolusi. Katanya, ada tiga tahapan
dalam perkembangan evolutifnya; informal, semi formal, dan formal.[6]
Jadi, penelitian (baca: kritik) terhadap Hadits Nabi SAW. sangat perlu
sekali dilakukan, demi menjaga autentisitasnya.
Hemat penulis, berbagai kajian yang dimaksud tersebut, masih cukup
sedikit yang membahas secara langsung tentang "Ilmu Kritik Hadits
('ilm naqd al-hadits)", atau lebih tepatnya yang menggunakan term
kritik. Baru sekitar abad XIV Hijriyah pengkajian itu dilakukan secara
serius[7].
Jika dikatakan, bahwa kritik terhadap Hadits telah dimulai sejak zaman
Nabi Muhammad SAW. atau pada masa kegemilangan sejarah Islam, penulis
berasumsi, itu masih berupa "cikal bakal" atau proses dari suatu
kajian yg mengarah ke kritik dimaksud, yakni sistematisasi,
metodologisasi atau kajian yg komprehensif dalam ulum al-hadits.[8]
Tulisan pendek ini, tentu saja terlalu berlebihan, jika dikatakan
untuk menyelesaikan problem di atas. Karena itu, maksud penulis hanya
sekedar (cukup) untuk memperkenalkan saja tentang "Studi Kritik
Hadits", yaitu kajian model mutakhir dari metodologi penelitian Hadits
Nabi SAW. Ini juga, lebih banyak mengambil referensi dari berbagai
kitab dan buku yang telah ada, khususnya sejak abad tersebut.
Beberapa pemerhati dan literatur yang telah membahas dan langsung
menyebutkan dengan istilah "kritik (naqd)" hadits, antara lain; Nur
ad-Din 'Itr dengan karyanya, Manhaj an-Naqd fi 'Ulum al-Hadits,
Muhammad Mustafa A'zami dalam Studies In Hadith Methodology and
Literature dan Manhaj an-Naqd 'ind al-Muhadditsin: Nasy'atuh wa
Tarikhuh, Muhammad Syuhudi Isma'il dalam Hadits Nabi Menurut Pembela,
Pengingkar dan Pemalsunya, dan Ali Mustafa Ya'qub dalam Imam Bukhari &
Metodologi Kritik dalam Hadits dan Kritik Hadits. Berawal dari
merekalah pengkajian atas studi kritik ini dilakukan. Sekalipun,
kajian itu belum memberikan pemahaman yang utuh sekali.
Kita akan mendapatkan sesuatu yang agak utuh, baru dari para pengkaji
dan beberapa literatur mengenai kritik (baca: penelitian) Hadits Nabi
SAW. yang lebih spesifik (yakni, secara terpisah), baik untuk sanad
ataupun matan hadits. Lebih-lebih, mereka telah mencoba
mengaktualisasikannya dalam pergulatan intelektual kontemporer dan
menerapkannya secara kontekstual. Antara lain; Shalahuddin ibn Ahmad
al-Adlabi, Manhaj Naqd al-Matn 'inda 'Ulama al-Hadits an-Nabawi;
Muhammad Thahir al-Jawabi, Juhud al-Muhadditsin fi Naqd Matn al-Hadits
an-Nabawi asy-Syarif; Afif Muhammad, "Kritik Matan: Menuju Pendekatan
Kontekstual atas Hadis Nabi SAW."; dan Said Agil Husein al-Munawwar,
"Urgensi Kritik Matan dalam Studi Hadits Kontemporer: Rekonstruksi
Metodologi atas Kriteria Kesahihan Hadits".
Secara berurutan (sistematis), bahasan dimulai dari paparan tentang
pengertian kritik hadits, sejarah dan perkembangannya, lalu pembagian
dan metodologi kritik hadits, dan standarisasi. Sebelum penutup atau
kesimpulan, akan dikemukakan urgensi studi kritik hadits dalam
penelitian hadits Nabi SAW. saat ini (kontemporer).
Pengertian
Secara leksikal, istilah "kritik" dalam bahasa Indonesia adalah
celaan, kecaman, dan sanggahan. Pengertiannya yang agak luas adalah
memberi pertimbangan dan menunjukkan mana yang salah dan yang benar.
Orang yang ahli mempertimbangkan baik dan buruk disebut kritikus. [9]
Dalam berbagai literatur Arab modern, kata naqd adalah mashdar dari
kata naqada digunakan dengan arti "kritik" (criticism).[10] Adapun
dari segi bahasa, bisa diartikan dengan "membedakan; memisahkan" dan
"memilih". Seperti dalam contoh; naqd ad-darahim wa intaqadaha; tamyiz
ad-darahim wa ikhraj az-zaif minha[11] (Dia membedakan uang dan memi-
sahkannya dari yang palsu); atau naqd al-kalam wa naqd asy-syi'r
--diartikan dengan--, He pick out the faults of the language and of
the poetry, [12] (Dia telah memilih yang salah dari bahasa dan
sastra).
Jadi dalam arti bahasa (lugawi), naqd itu dapat menjelaskan pada
setiap sesuatu untuk menyingkapkan dan mengujikannya. Seperti itu pula
makna lugawi dari naqd menurut ahli Hadits.[13]
Dengan arti di atas, tidak mengherankan jika Imam Muslim (w. 261),
seorang ahli Hadits ternama, ketika menulis sekitar metodologi kritik
Hadits memberi nama kitabnya dengan At-Tamyiz. Hal ini barangkali
juga, karena dalam al-Qur'an dan Hadits Nabi SAW. tidak dijumpai dan
digunakan kata naqd dengan maksud "kritik", tapi dengan maksud lain
dan dengan menggunakan kata yamiz (asal katanya, maza).[14]
Sebenarnya, menurut Muhammad Mustafa A'zami -lalu, disebut A'zami--,
kata naqd sudah dipergunakan oleh ahli Hadits masa awal, hanya saja
kurang populer. Mereka ketika mengkritik Hadits menamakannya dengan
al-jarh wa at-ta'dil (tentang invaliditas dan kredibelitas dalam
Hadits). Karenanya, kata tersebut (naqd) sangat mungkin telah
digunakan pada abad kedua Hijriyah.[15] Seperti, dalam karya Ibn Hatim
ar-Razi (w. 327) al-Jarh wa at-Ta'dil, beliau menyebutkan istilah
kritik dan kritikus Hadits dengan an-Naqd wa an-Nuqqad.[16]
Kritik hadits, secara terminologis, menurut A'zami dalam "Manhaj
an-Naqd 'inda al-Muhadditsin" adalah menyeleksi hadits-hadits antara
yang shahih dengan yang dla'if dan meneliti para perawinya apakah
dapat dipercaya dan kuat ingatannya (tsiqah) atau tidak. [17]
Adapun ilmu kritik hadits ('ilm naqd al-hadits), menurut Muhammad
Thahir al-Jawabi adalah menetapkan status para perawi hadits, baik
tajrih (kecacatan), maupun ta'dil (keadilan) dengan menggunakan
kata-kata tertentu yang ditentukan oleh para ahli Hadits; dan meneliti
matan-matan hadits yang sanadnya shahih untuk di-tashih atau
sebaliknya (di-tadla'if ), dan untuk menghilangkan (kesahihan matan)
dari yang musykil, lalu menolak atau menghindarkan dari matan yang
bertentangan dengan cara menerapkan aturan-standar yang tepat.[18]
Dari pengertian di atas, berarti menepis pendapat yang beredar
dikalangan umat Islam, bahwa kritik Hadits sebagai sebuah upaya untuk
melecehkan kedudukan dan fungsi Hadits. Juga, tentang bahwa istilah
tersebut datang dari islamolog Barat, berarti tidak 100 % benar.[19]
Dalam Ilmu Hadis, kritik ditujukan pada dua aspek; aspek sanad dan
matan hadis.[20] Pada kritik dua aspek ini, yakni kritik sanad/kritik
ekstern, naqd as-sanad/naqd ar-rijal/naqd al-khariji dan kritik
matan/kritik intern, naqd al-matn/naqd al-bathini diperlukan
syarat-syarat, kaedah-kaedah, atau standarisasi tertentu.
Bila demikian, kritik dalam arti semacam itu, sama halnya dengan
istilah "penelitian" menurut M. Syuhudi Isma'il.[21] Lalu, dari
penelitian tersebut akan muncul istilah ahli hadis, "hadza al-hadits
shahih al-isnad" dan "hadza al-hadits shahih al-matn".[22] Paparan
lebih lanjut, akan dibahas dalam sub "Pembagian dan Metodologi",
setelah sub "Sejarah dan Perkembangan".
Sejarah dan Perkembangan
Dari beberapa batasan "kritik" di atas, dapat dikatakan bahwa kritik
terhadap Hadits Nabi SAW. telah dimulai sejak zaman Nabi SAW [23] Jika
demikian, "ilmu" ini mengalami proses yang panjang, sesuai dengan
perkembangan intelektual.
Hal ini, sama sebagaimana dalam analisis al-Jawabi, bahwa kritik
Hadits Nabawi -seperti juga ilmu-ilmu keislaman lain- dimulai dengan
pertumbuhan, kemudian mengalami fase-fase (tahapan) tertentu dalam
perkembangan menuju kesempurnaannya, sehingga mempunyai kaedah dan
metodologinya.[24]
Tahapan-tahapan yang dimaksud adalah al-istitsaq min al-khabar
(eksplorasi Hadits), al-ihtiyath fi ar-riwayah tahammulan wa ada'an
(selektif dalam periwayatan, baik penyampaian ataupun penerimaannya),
naqd ma'na al-hadits (kritik makna Hadits), naqd ar-ruwah min janib
dabthihim wa shiyanah mabna al-matn (kritik para perawi, dari segi
keadilan dan kecacatan untuk mengetahui kredibelitasnya dan akurasi
materi Hadits), at-taftisy 'an ar-ruwah wa al-bahts 'an 'adalatihim
(penyidikan tentang para perawi dan evaluasi tentang keadilannya),
al-muthalabah bi al-isnad (penyelidikan dengan susunan/urutan perawi),
ta'sis 'ilm al-jarh wa at-ta'dil (pemberian landasan pada jarh wa
at-ta'dil), al-bahts 'an 'ilal al-hadits (koreksi atas cacat Hadits).
Setelah itu, metode baru dari kritik makna (naqd ma'na) untuk
menghindarkan matan-matan yang bertentangan dan menghilangkannya dari
kemusykilan. Tahapan berikutnya, kritik bahasa Hadits (naqd lugah
al-hadits) meliputi; penjelasan yang ganjil dan justifikasi kesalahan
mengeja, dan; tahapan terakhir, pemahaman Hadits (bayan fiqh
al-hadits). Semuanya itu, kata al-Jawabi, ditujukan untuk dapat
membedakan antara Hadits yang Shahih dan yang dla'if.[25] Dari proses
tersebut itulah, sehingga muncul dan menghasilkan beberapa ilmu yang
dapat membedakan dari suatu Hadits Nabi SAW. yang diterima (al-maqbul)
dan ditolak (al-mardud) dari segi matan dan sanadnya, juga pemahaman
terhadap makna dan lafadhnya.[26]
Dalam analisisnya, A'zami mengungkapkan bahwa pada zaman Nabi SAW.
penelitian Hadits masih bersifat verifikatif dan konfirmatif. Seperti,
"seseorang pergi menemui Nabi SAW. untuk membuktikan sesuatu yang
telah disabdakan beliau". Jadi, pada tahap ini masih sangat sederhana,
dapat pula dikatakan sebagai konsolidasi dan demi ketenangan hati
orang-orang muslim; bahwa memang Nabi SAW. benar-benar menyampaikan
hal itu. Sebagai contohnya, adalah kasus ahl al-badiyah, seperti
berikut ini.
"Anas ibn Malik berkata:.telah datang seseorang dari ahl al-badiyyah
kemudian bertanya," Wahai Muhammad kami telah didatangi utusanmu, ia
mengatakan bahwa Allah SWT. telah mengangkat engkau sebagai Rasul,
benarkah? Nabi SAW. menjawab: benar.. Lalu bertanya lagi; "Utusanmu
juga menyampaikan tentang kewajiban untuk mengeluarkan zakat dari
harta kami, benarkah?" Jawab Nabi SAW., benar.. Selanjutnya, "Utusanmu
juga mengajarkan kepada kami tentang kewajiban untuk berpuasa Ramadlan
setiap tahunnya, benarkah?"
Jawab Nabi SAW, benar.dst. (HR. Muslim).[27]
Beberapa Sahabat Nabi SAW. lain juga melakukan hal demikian. Di antara
mereka itu; Abu Bakar ash-Shiddiq, 'Ali ibn Abi Thalib, Ubay ibn Ka'b,
Abdullah ibn Amr, umar ibn Khattab, 'Aisyah bint Abu Bakar, Ibn 'Umar
dan Zainab isteri ibn Mas'ud.[28]
Menurut Ibn Hibban, setelah generasi 'Umar ibn Khattab dan 'Ali ibn
Abi Thalib, para penerusnya adalah para Tabi'in. Pada masa kedua ini,
sudah lebih berkembang lagi, setidaknya terdapat dua aliran; aliran
Madinah dan Irak. Beberapa dari Madinah antara lain Ibn al-Musayyib
(w. 93), al-Qasim ibn Muhammad ibn Abu Bakr (w. 106), Salim ibn
'Abdullah ibn 'Umar (w.106), 'Ali ibn Husain ibn 'Ali (w.93), Abu
Salamah ibn 'Abd ar-Rahman (w. 94), Kharijah ibn Zaid ibn Tsabit
(w.100), 'Urwah ibn az-Zubair (w. 91), Abu Bakr ibn 'Abd ar-Rahman,
ibn al-Harits (w. 94), dan Sulaiman ibn Yasir (kira-kira w. 100).
Selain mereka itu antara lain, az-Zuhri (w. 124). Sedangkan yang
mewakili dari Irak, diantaranya Sa'id ibn Zubair (w. 95), asy-Sya'bi
(w. 104), Thawus (w. 106), al-Hasan al-Bashri (w. 110), dan Ibn Sirin
(w. 110). Juga termasuk, as-Sakhtiyani (w. 131), dan Ibn 'Awn (w.
151).
Selanjutnya, kritik Hadits Nabi SAW. memasuki tahapan baru, setelah
periode di atas. Tahap baru tersebut adalah dengan melakukan
perjalanan (journay) untuk memperoleh Hadits, meskipun sebenarnya
metode ini telah dilakukan pada zaman Nabi SAW. namun, tidak bisa
disamakan dengan perjalanan oleh para ulama abad ke-2 dan ke-3
Hijriyah. Perbedaan rihlah ilmiyah tersebut, semangatnya itu
sebagaimana dipaparkan oleh Yahya ibn Ma'in (w. 233);
"There are four kinds of people who never became mature in their life;
among them is he who writes down hadith in his own and never makes a
jouney for this purpose"[29] (Ada empat jenis manusia yang tidak
pernah menjadi puas dalam hidup mereka; salah satunya adalah sesorang
yang mencatat hadits miliknya sendiri dan tidak peduli melakukan
perjalanan demi tujuan penulisannya).
Sejak abad itulah, secara umum persyaratan peneliti Hadits adalah
melakukan perjalanan dimanapun (extensive). Sehingga, kritiknyapun
tidak terbatas hanya pada guru-guru (syaikh) dimana peneliti hidup,
tapi sudah mendunia (Islamic world).
Beberapa diantara mereka adalah Sufyan ats-Tsauri dari Kufah (97-161),
Malik ibn Anas dari Madinah (93-179), Syu'bah dari Wasith (83-100),
al-Awza'I dari Beirut (88-158), Hammad ibn Salamah dari Bashrah (w.
167), al-Laitsibn Sa'd dari Mesir (w. 175), Hammad ibn Zaid dari
Bashrah (w. 179), Ibn 'Uyainah dari Mekkah (107-198), 'Abdullah ibn
al-Mubarak dari Merv (118-181), Yahya ibn Sa'id al-Qattan dari Bashrah
(w. 198), Waki' ibn Jarrah dari Kufah (w. 196), 'Abd ar-Rahman ibn
Mahdi dari Basrah (w. 198), dan asy-Syafi'I dari Mesir (w. 204).
Namun, menurut Ibn Hibban, yang termasyhur dari mereka adalah Syu'bah,
Yahya ibn Sa'id dan Ibn Mahdi. Syu'bah dalam bidang ini adalah gurunya
Yahya ibn Sa'id.[30]
Dari para kritikus tersebut, kemudian mempunyai generasi penerusnya.
Beberapa yang terkenal adalah Yahya ibn Ma'in dari Bagdad (w. 233),
'Ali ibn Al-Madini dari Bashra (w. 234), Ibn Hanbal dari Bagdad (w.
241), Abu Bakr ibn Abu Syaibah dari Wasith (w. 235), Ishaq ibn Rawaih
dari Merv (w. 238), 'Ubaidillah ibn 'Umar al-Qawariri dari Bashrah (w.
235), dan Zuhair ibn Harb dari Bagdad (w. 234). Sedangkan yang lebih
masyhur lagi dari mereka adalah Yahya ibn Ma'in, 'Ali ibn al-Madani,
dan Ibn Hanbal.
Sebagaimana biasanya, diantara murid mereka ada juga yang terkenal,
seperti halnya; ad-Darimi (w. 255), al-Bukhari (w. 256), Muslim
an-Naisaburi (w. 261), dan Abu Zur'ah ar-Razi (w. 264).
Pada periode abad-abad itulah kritik Hadits Nabi SAW. tumbuh dan
berkembang sangat subur. Menurut al-Jawabi, periode tersebut termasuk
dalam kategori periode awal, dari tiga periode yang disebutnya sebagai
periodisasi dalam naqd al-hadits. Secara lengkap, sebagai berikut;
pertama, periode Shahabat dan Tabi'in (sampai paruh abad II Hijriyah);
kedua, periode tadwin al-hadits dan ta'sis funun an-naqdiyah (hingga
akhir abad IV Hijriyah)[31]; dan terakhir adalah periode penyempurnaan
dari periode sebelumnya, mulai abad IV-IX Hijriyyah.[32]
Setelah itu, perkembangan kritik Hadits terus berlanjut, baik melalui
metodologi ataupun segi sanad dan matannya, bahkan terkesan semakin
ketat dan kritis hingga dewasa ini. Beberapa literatur telah
disebutkan di muka.
Adapun literatur lainnya, antara lain; Studies In Early Hadith
Literature, " Hadis Nabawi damn Sejarah Kodifikasinya" , M.M. A'zami;
As-Sunnah an-Nabawiyyah: Baina Ahl al-Fiqh wa Ahl al-Hadits, "Studi
Kritis Atas Hadits Nabi SAW. Antara Pemahaman Tekstual dan
Kontekstual" , Syaikh Muhammad Al-Ghazali; Kasyf Mauqif al-Ghazali Min
as-Sunnah wa Ahliha wa Naqd Ba'dl Ara'ih, "Membela Sunnah Nabawiy:
Jawaban Terhadap Buku Studi Kritis Atas Nabi (M.Al-Ghazali)", Rabi'
bin Hadi al-Madkhali; Kaifa Nata'ammal Ma'a as-Sunnat an-Nabawiyyah,"
Studi Kritis As-Sunnah, Yusuf Qardlawi; As-Sunnah wa Makanatuha fi
at-Tasyri' al-Islami, "Sunnah dan Peranannya dalam Penetapan Hukum
Islam: Sebuah Pembelaan Kaum Sunni, Musthafa Al-Siba'I; dan Muhammad
Syuhudi Isma'il, Kaedah Kesahihan Hadits: Tela'ah Kritis dan Tinjauan
dengan Pendekatan Ilmu Sejarah.[33]
Dengan demikian, studi kritik Hadits Nabi SAW. itu hingga sekarang
masih tetap diminati oleh semua pemerhati keislaman kontemporer.
Perkembangan semacam ini, tentu saja akan memberikan nuansa pada
kerangka kritik Hadits selanjutnya.
Pembagian Kritik dan Metodologi
Sebagaimana dipaparkan sebelum ini, bahwa kritik Hadits itu usaha
untuk mengetahui shahih tidaknya suatu Hadits dan mempertanyakan
apakah Hadits tersebut benar-benar berasal dari Nabi SAW. atau bukan.
Berarti, sasarannya adalah dokumen dan teks sumber yang
menginformasikan tentang Nabi SAW. Jika demikian, mirip sekali -kalau
bukan, tidak ada bedanya-- dengan penelitian sejarah, yakni sama-sama
berupaya meneliti sumber dalam rangka memperoleh data yang autentik
dan dapat dipercaya.[34]
Dalam metode sejarah, terlebih dahulu sumbernya harus diteliti sebelum
data digunakan. Sumber data, dilihat dari sifatnya ada dua, yaitu
sumber primer dan sekunder[35]. Sementara, penelitian pada sumber
tersebut ada dua macam; kritik ekstern dan kritik intern.
Berkaitan dengan penelitian Hadits Nabi SAW., kritik yang ditujukan
pada sanad (perawi) atau naqd as-sanad adalah kritik ekstern dalam
ilmu sejarah atau naqd al-hadits al-khariji, an-naqd adh-dhahiri; dan
kritik pada matan (naqd al-matn), disebut juga kritik intern dalam
ilmu sejarah (an-naqd ad-dakhili, an-naqd al-bathini).[36] Jadi,
kritik Hadits Nabi SAW. itu terbagi menjadi dua aspek atau segi, yakni
segi sanad[37] dan segi matan.
Untuk menuju pada penelitian Hadits Nabi SAW. tersebut, terdapat
beberapa metode yang digunakan, baik pada zaman Nabi SAW. ataupun era
saat ini, kontemporer. Metode-metode yang dimaksud adalah metode
komparatif, metode rasionalisasi, dan kontekstual.
A. Metode Komparatif.
Dengan mengutip pendapat Ibn al-Mubarak (w. 181)," .untuk mencapai
pernyataan yang otentik, orang perlu membandingkan kata-kata ulama
satu dengan yang lainnya..", A'zami menyatakan bahwa "metode
perbandingan, the methode of comparasion " sangat penting dilakukan
berkaitan dengan kritik. Metode perbandingan tersebut, terdapat empat
macam;[38]
1. Perbandingan Hadits-hadits dari berbagai murid seorang ulama
(baca: Sahabat atau ahli Hadits). Caranya, dengan mengumpulkan
berbagai Hadits, kemudian dibandingkan dengan yang lainnya.
Contohnya, seperti dilakukan para Sahabat; Abu bakar ash-Shiddiq, Abu
Hurairah, dst. atau seperti dicontohkan suatu peristiwa yang
disebutkan sebelum ini (lihat hlm. 8)[39]
2. Perbandingan pernyataan seorang ulama setelah jarak waktu
tertentu. Hal ini seperti dilakukan oleh 'Aisyah bint Abu Bakar;
.Pada suatu ketika 'A isyah menyuruh keponakannya 'Urwah, pergi
menemui 'Abd Allah ibn Amr dan menanyakan kepadanya tentang sebuah
hadits dari Nabi, karena 'Abd Allah mendengar banyak hadits dari Nabi.
'Urwah menemui 'Abd Allah dan menanyakan kepadanya tentang hadits dari
Nabi.
Salah satu hadis yang didengarnya adalah tentang bagaimana ilmu akad
diambil (dihilangkan) dari dunia. 'Urwah kembali pada 'A`isyah dan
meriwayatkan apa yang telah didengarnya dari 'Abd Allah.[40]
'A`isyah merasa tidak puas dengan Hadits satu ini. Setelah kira-kira
satu tahun, 'A`isyah menyuruh 'Urwah untuk bertanya kepada 'Abd Allah
ibn 'Umar tentang hadits tersebut, setelah 'Urwah kembali kepada
'A`isyah ia mengatakan bahwa Abdullah mengulangi Hadits tersebut.
Kemudian 'A`isyah berkata, "saya kira dia adalah benar, karena ia
tidak menambah dan mengurangi apapun dari Hadits itu"..[41]
3. Perbandingan dokumen yang tertulis dengan Hadits yang disampaikan
dari ingatan. Metode ini seperti digunakan dalam peristiwa 'Abd
ar-Rahman ibn 'Umar, ketika ia meriwayatkan sebuah Hadits melalui Abu
Hurairah tentang Shalat Dhuhur yang boleh diundurkan dari awal
waktunya bila musim panas. Menurut Abu Zur'ah bahwa itu tidak benar.
Hadits tersebut bersumber dari Abu Sa'id 'Abd ar-Rahman ibn 'Umar
menerimanya dengan serius dan tidak melupakannya. Ketika pulang ke
kotanaya, 'Abd ar-Rahman mengecek dalam kitabnya dan menyadari bahwa
ia memang salah. Kemudian ia mengirim surat kepada Abu Zur'ah dengan
mengakui kesalahannya, serta mohon untuk diberitahukan kepada orang
lain.
4. Perbandingan hadits dengan ayat Al-Qur'an yang berkaitan. Cara ini
diterapkan oleh Umar ibn Khattab ketika menolak Hadits dari Fatimah
bint Qais tentang uang nafkah bagi wanita yang dicerai.[42]
B. Metode Rasional.
Selain pendekatan atau metode komparatif tersebut, A'zami juga
menawarkan satu metode lagi, dengan sebuah statement, but was pure
reasoning or rational approach used in such critism? Menurutnya,
kemampuan rasional tidak terlalu banyak membantu dalam menerima atau
menolak Hadits Nabi SAW. Dalam beberapa literatur hadits, penalaran
murni (pure reasoning) tidak pernah digunakan. Contohnya, tentang
kebiasaan Nabi SAW. tidur dengan berbaring pada lambung kanannya, dan
sebelum tidur beliau membaca do'a-do'a tertentu, begitu juga ketika
bangunnya. Dengan menggunakan rasionalitasnya, tentu saja semua
manusia bisa saja tidur dengan berbagai model.
Dalam kasus semacam itu, 'aql tidak bisa membuktikan benar atau
tidaknya. Kebenarannya hanya dapat dipastikan dengan para perawi atau
saksi-saksi yang terpercaya. Jadi, penalaran itu menjadikan kita bisa
menerima atau tidak dari perawi-perawi tentang pernyataannya itu. Jika
bertentangan dengan akal, maka kita tolak.[43]
Selanjutnya, metode rasional juga dapat dilakukan karena berbagai hal,
setidaknya ada empat, yaitu pertentangan antara hadits dan Al-Qur'an,
hadits-hadits yang saling bertentangan, dan hadits-hadits yang
berkaitan dengan sains dan sunnatullah, tapi tidak bisa diterima
secara rasional.
1. Pertentangan antara Hadits dengan Al-Qur'an.
Caranya adalah dengan meneliti matan hadits, setelah itu dengan
Al-Qur'an. Jika haditsnya bertentangan dengan Al-Qur'an dan tidak bisa
dikompromikan, maka hadits tersebut harus ditolak dan yang dijadikan
pegangan adalah Al-Qur'an. Sekalipun, Haditsnya itu termasuk kategori
shahih dari segi sanad. Untuk kritik yang demikian, memang jumlahnya
tidak terlalu banyak. Contohnya, hadits tentang "Siksaan terhadap
mayyit yang ditangisi keluarganya".
.Haditsnya diriwayatkan oleh Tsabit dari Anas ibn Malik. Juga
diriwayatkan Shuhaib, Muhammad ibn Sirin, dan Ayah Abu Burdah. Dari
segi sanad (perawi), hadits tersebut shahih. Namun karena dari segi
isinya (matan) bertentangan dengan Al-Qur'an (wa la taziru waziratun
ukhra), maka 'A`isyah bint Abu Bakar mengkritik dan menolak hadits
itu. Ia mengatakan dalam salah satu riwayat: " semoga Allah merahmati
Abu Abdurrahman, sesungguhnya ia tidak berdusta tapi mungkin ia lupa
atau keliru, bahwa sesungguhnya hadits tersebut diperuntukkan bagi
mayat seorang wanita Yahudi yang ditangisi keluarganya. Nabi telah
bersabda:" Mereka menangisi mayat wanita Yahudi itu sedang disiksa
dalam kubnurannya". Lanjut 'A`isyah, Rasul sama sekali tidak
mengatakan bahwa seorang mu'min disiksa karena tangisan
seseorang"..[44]
Rasionalisasinya sebagai berikut, hadits tersebut tidak harus difahami
secara hakiki, namun dari segi misi (pesan moralnya) adalah
diperuntukkan kepada ahli mayit yang masih hidup, agar mereka tidak
meratapi si mayit secara berlebihan. Sekalipun, mayit sendiri tidak
akan disiksa karena tangisan tersebut.[45]
2. Hadits-hadits yang saling bertentangan.
Caranya, dengan membandingkan satu hadits dengan hadits lainnya, bila
keduanya bertentangan dan tidak bisa dikompromikan, maka yang dipakai
adalah hadits yang lebih kuat dan lebih shahih dari segala seginya.
Contohnya, hadits tentang "Orang yang berpuasa dan mendapati Subuh
dalam keadaan Junub". Diriwayatkan dari Abu Bakr ibn 'Abd ar-Rahman,
mengabarkan bahwa Abu Hurairah mengatakan, "siapa yang mendapati waktu
subuh dalam keadaan junub, maka tidak boleh berpuasa". Abd ar-Rahman
ibn Harits mengingkari fatwa tersebut, lalu ia menemui 'A`isyah dan
Ummu Salamah, keduanya berkata: "Rasulullah SAW. mendapati Subuh dalam
keadaan junub dengan tidak disebabkan mimpi, kemudian beliau
berpuasa". Kemudian kembali lagi pada Abu Hurairah, setelah
menjelaskan apa yang dikatakan 'A`isyah dan Ummu Salamah, Abu Hurairah
mengatakan, "Keduanya lebih tahu dari aku mengenai hal ini. Abu
Hurairah meralat fatwanya dan menyesuaikan dengan hadits 'A`isyah dan
Ummu Salamah.
3. Hadits yang berkaitan dengan sains dan sunnatullah, tapi tidak bisa
diterima secara rasional.
Beberapa contohnya, tentang hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari
muslim: "Seandainya tidak ada bani Israil maka makanan dan daging
tidak akan busuk". Secara tekstual, hadits tersebut bertentangan
dengan sains dan sunnatullah, tapi bisa saja dirasionalisasikan bahwa
hadits itu mengecam kebiasaan bani Isra'il yang selalu bersifat
kikir.[46]
Sedangkan tentang hadits-hadits lainnya, seperti lalat masuk minuman,
demam berasal dari neraka, dll. sebagaimana dikritik oleh Maurice
Bucaille.[47] Untuk pendapat semacam ini, terdapat tiga pendapat; kaum
konservatif, ekstrim, dan moderat.
Kaum konservatif, mengatakan bahwa jika hadits tersebut shahih,
meskipun berlawanan tetap harus diterima. Kaum ekstrim dengan keras
mengatakan, hadits-hadits berkaitan dengan sains harus diuji
kebenaranny secara saintis, jika bertentangan ditolak, apakah hadits
itu shahih atau tidak. Kaum moderat, berpendapat bahwa sains dapat
saja dijadikan sebagai tolak ukur kebenaran, jika memang telah menjadi
kesepakan saintis, atau dengan kata lain tidak mutlak sebagai
satu-satunya penentu kebenaran.[48]
C. Metode Kontekstual.
Maksudnya dengan metode ini atau pendekatan kontekstual atas Hadits
Nabi SAW. adalah memahami hadits berdasarkan dengan
peristiwa-peristiwa situasi ketika hadits itu disampaikan, dan kepada
siapa pula ditujukan. Dengan lain perkataan, bahwa dengan metode
kontekstual itu diperlukan sabab al-wurud al-hadits. Contohnya, hadits
mengenai keharusan berbakti kepada ibu tiga kali lipat dibanding ayah.
Jika dipahami secara tekstual, maka akan timbul kesan diskriminasi
antara berbakti pada ayah dan ibu. Padahal, secara konteks saat itu,
secara sosiologis wanita kurang dihargai dan memperoleh hak-haknya,
bahkan tertindas akibat warisan-warisan jahiliyah atas tradisi yang
melekat dari bangsa Arab saat itu.[49]
Dari paparan di atas, hingga saat ini beberapa pemikir juga tetap
banyak yang mengaplikasikannya. Seperti Muhammad al-Ghazali dalam
kitabnya, begitu juga dengan pemerhati keislaman lainnya, meskipun
tidak bersepaham dengan al-Ghazali atas pendapatnya itu. Untuk dapat
melakukan kritik Hadits lebih lanjut akan dibahas dalam sub,
"standarisasi" sebagai patokan, atau kaedah-kaedahnya.
Standarisasi
Oleh para pakar dan pemerhati Ilmu Hadits Nabi SAW., kritik hadits
sebagaimana dipaparkan di depan telah mempunyai beberapa aturan,
kaedah yang standar. Kaidah-kaidah yang dimaksud atau standar kritik
Hadits Nabi SAW., secara global dan sederhana dapat dilihat dari
pengertian tentang hadits shahih. Ibn ash-Shalah (w. 643)
mengungkapkam, hadits shahih adalah hadits yang bersambung sanadnya
(sampai ke Nabi SAW.), diriwayatkan oleh rawi yang adil dan dlabith
sampai akhir sanad, (di dalam hadits itu) tidak terdapat kejanggalan
(syadz) dan cacat ('illah).[50]
Kaedah Mayor Kritik Sanad dan Matan Hadits.
Dari definisi tersebut dapat diuraikan unsur-unsur kaedah mayor hadits
shahih dalam dua kategori; pertama, shahih karena sanad, yakni
bersambung, rawinya adil, dan dlabith; kategori kedua, shahih karena
matan, yakni tidak terdapat kejanggalan (syadz) dan tidak terdapat
cacat ('illah).
Kaedah Minor Kritik Sanad dan Matan Hadits
A. Sanad (Periwayatan)
Sanad adalah penjelasan tentang jalan yang menyampaikan kita pada
materi Hadits. Untuk menentukan kualitas hadits (baca: kritik),
kedudukan sanad itu sangat penting sekali. Dikatakan Abdullah ibn
al-Mubarak bahwa, "sanad (al-isnad) itu bagian dari agama, jika sanad
itu tidak ada, niscaya siapapun dapat mengatakan apapun yang
dikehendakinya". [51]
Az-Zuhri dan ats-Tsauri juga mengatakan hal yang sama tentang
pentingnya sanad. Dikatakan az-Zuhri,"apakah engkau akan menaiki
langit tanpa tangga?", sedangkan ats-Tsauri, "sanad itu senjata orang
mu'min, jika tidak ada, bagaimana bisa membunuh?".[52]
Unsur-Unsur Kaidah Minor Kritik Sanad
1. Unsur pertama kaidah mayor, sanadnya bersambung, mempunyai unsur
kaidah minornya antara lain; muttashil, marfu', mahfudh, dan bukan
mu'allal.
2. Perawi bersifat 'adil, kaidah minornya antara lain; beragama Islam,
mukallaf, melaksanakan ketentuan agama Islam, dan memelihara muru'ah.
Unsur ketiga dari kaidah mayor perawinya bersifat dlabit dan atau
adlbath, unsur kaidah minornya antara lain; hafal dengan baik hadits
yang diriwayatkannya, mampu dengan baik menyampaikan riwayat hadits
yang dihafalnya kepada orang lain, terhindar dari syudzudz, dan
terhindar dari 'illah.[53]
B. Matan (Materi/Isi)
Yang dimaksud matan adalah sabda Nabi SAW. setelah disebutkan
sanadnya. Dalam ulum al-hadits terdapat tiga kemungkinan pembagian
tentang matan. Pertama dari segi penyampainya, meliputi; al-hadits
al-Qudsi, al-marfu', al-mauquf, dan al-maqthu'. Kedua dari segi
ilmu-ilmu yang menjelaskan pada matan, meliputi; garib al-hadits,
asbab wurud al-hadits, nasikh al-hadits wa mansukhuh, mukhtalaf
al-hadits, dan muhkam al-hadits. Terakhir yang ketiga, ilmu-ilmu yang
berkembang dari aspek matan yang diriwayatkan dengan berbagai
periwayatan dan hadits-hadits lainnya.[54]
Kaidah Minor Kritik Matan Hadits
Terhindar dari syadz dan terhindar dari 'illah merupakan dua kaidah
mayor untuk matan hadits. Untuk menjabarkan dua kaidah mayor tersebut
dalam kritik minor hadits, sebagaimana dalam sanad di atas, nampaknya
masih cukup kesulitan bagi para pemikir al-hadits. Namun sebagian
pemikir dan pemerhati Hadits Nabi SAW. telah melakukannya dengan cara
yang berbeda (secara sendiri) sebagai kesahihah suatu matan, sehingga
tidak mengherankan jika tidak semua ulama dalam mengungkapkannya sama
persis. Beberapa yang dapat disebutkan antara lain; pendapat
Al-Baghdadi (w. 463), al-Adlabi, dan terakhir dari jumhur 'ulama,
sebagaimana disebutkan oleh as-Siba'i.
Al-Baghdadi,[55] menyebutkannya sebagai berikut; tidak bertentangan
dengan akal sehat; tidak bertentangan dengan hukum Al-Qur'an yang
muhkam; tidak bertentangan dengan hadits mutawatir ; tidak
bertentangan dengan amalan yang telah menjadi kesepakatan ulama
sebelumnya ; tidak bertentangan dengan dalil yang pasti dan ; tdk
bertentrangan dgn hadits Ahad yg kualitas keshahihannya lebih kuat.
Al-Adlabi mengemukakannya ada empat macam; tidak bertentangan dengan
petunjuk Al-Qur'an, tidak bertentangan dengan hadits yang kualitasnya
lebih kuat, tidak bertentangan dengan akal sehat, indera dan sejarah,
dan terakhir susunan pernyataannya menunjukkan ciri-ciri kenabian.[56]
Dengan maksud yang sama, jumhur 'ulama mengungkapkan, bahwa untuk
meneliti kepalsuan suatu Hadits Nabi SAW. diantara tanda-tandanya
sebagai berikut: Susunan bahasanya rancu; Isinya bertentangan dengan
akal sehat dan sangat sulit diinterpretasikan secara rasional; Isinya
bertentangan dengan tujuan pokok ajaran Islam; Isinya beretentangan
dengan hukum alam atau sunnatullah; Isinya bertentangan dengan
sejarah; Isinya bertentangan dengan petunjuk Al-Qur'an atau Hadits
mutawatir; dan Isinya berada di luar kewajaran, dilihat dari petunjuk
umum ajaran Islam.[57]
Setidaknya, standar atau kaidah yang telah disebutkan itu, dapat
dijadikan sebagai alternatif untuk dapat mengkritik Hadits Nabi SAW.
baik dari aspek sanad ataupun matannya.
Urgensitas
Dalam awal pembahasan disebutkan, bahwa fungsi hadits Nabi SAW. bagi
umat Islam itu sangat urgen. Apalagi, dalam sejarah perkembangannya
tersebut. Karenanya, perlu sekali untuk sangat hati-hati dalam
mengambil atau menggunakannya. Bagaimanapun, hadits Nabi SAW. adalah
hasil dari ikhtiar manusia untuk menghimpun dan mengabadikan aktifitas
Nabi SAW., padahal manusia itu tidak anti lupa atau tempatnya salah.
Karena itu pula, orisinalitas suatu hadits harus dijaga. Di bawah ini
akan dipaparkan, tentang beberapa hal kenapa kritik hadits itu penting
dilakukan.
Dengan tersebarnya Islam awal ke berbagai daerah dan negeri muslim,
khususnya pada masa 'Umar ibn Khattab, hadits Nabi SAW. juga mengalami
hal yang sama. Tak dipungkiri, bahwa kemungkinan kekeliruan dalam
penyampaiannya juga timbul. Begitu juga, ketika seperempat abad
setelah Nabi SAW. wafat, dimana telah banyak kejadian, peristiwa
besar, dan pergolakan timbul. Sekedar contoh, fitnah pembunuhan Utsman
ibn 'Affan, peperangan 'Ali ibn 'Affan dengan Mu'awiyyah ibn Shofyan
telah menimbulkan perpecahan dikalangan kaum muslim.[58] Karena itu,
perlu adanya pemisahan antara hadits yang shahih dan yang tidak.
Said agil Husein al-Munawwar, ulama Indonesia yang alumnus "Ummul
Quro" Mekkah melihat urgensi kritik hadits dari berbagai segi:
1. Untuk mengetahui aspek-aspek sanad atau perawi hadits, antara
lain; tsiqoh atau tidak, dan adil atau tidak, dengan begitu akan
diketahui mana hadits yang maqbul atau ditolak.
2. Untuk mengetahui aspek kualitas matan hadits, diantaranya apakah
shahih atau dla'if, atau juga apakah suatu hadits itu benar-benar
bersumber dari Nabi SAW. atau bukan.
3. Pentingnya kritik itu, karena telah tersebarnya hadits di pelosok
dunia.[59]
Urgensi lainnya adalah dapat menangkal para kritikus Hadits Nabi SAW.,
yang berpendapat bahwa para ahli (baca: peneliti) hadits hanya
menggunakan metode kritik sanad saja, tanpa menggunakan metode kritik
matan, sehingga dikatakan mereka sering ditemukan hadits-hadits yang
semula sahih, tapi di belakang hari ternyata tidak (baca: palsu).[60]
Studi kritik (baca; metodologi) hadits di atas, sebagai model mutakhir
penelitian hadits dapat 'mematahkan' pendapat para islamolog modern.
Beberapa diantaranya adalah Ignaz Goldziher (1850-1921), Aren Jan
Wensinck (1882-1939), Joseph Schacht (1902-1969), termasuk juga Ahmad
Amin, pengarang Fajr al-Islam,[61] dll.
Senada dengan itu adalah Yusuf Qardlawi, seorang ulama Mesir yang
masyhur mengungkapkan, bahwa kritik hadits itu akan dapat
menghindarkan dari apa yang disebutmya sebagai "penyakit yang harus
dihindari", yaitu penyimpangan kaum ekstern, manipulasi orang-orang
sesat, dan pemalsuan orang-orang jahil. [62] Begitu juga, menurut M.
Al-Ghazali ketika mengungkapkan dalam kata pengantar ke-6 bukunya,
bahwa tujuannya hanyalah membersihkan Hadits Nabi SAW. dari segala
yang mencemarinya, maka perlu untuk memberikan kritikan pada beberapa
pemahaman yang keliru.[63] Meskipun upaya al-Ghazali tersebut, oleh
Rabi' bin Hadi al-Madkhali dianggap memusuhi as-Sunnah.[64]
Jadi, memang sungguh menarik dan unik sekali urgensitas kritik Hadits
Nabi SAW. dewasa ini. Bagi sebagian pemikir menyatakan sebagai pembela
Hadits Nabi SAW. tapi oleh sebagian lainnya, justru kebalikannya.
Lebih dari itu, disinilah pentingsnya "Ilmu Kritik Hadits".
Penutup
Kecenderungan meneliti secara kritis oleh para pemikir dan pemerhati
keislaman sangat besar pada ulum al-hadits, baik zaman Sahabat maupun
dewasa ini. Barangkali, dikarenakan fungsi dan peran hadits yang
sangat urgent dalam kedudukannya sebagai salah sebuah sumber ajaran
Islam. Penelitian terhadap hadits selalu berkembang terus, sesuai
kebutuhan dan kepentingan umat Islam. Seiring dengan itu, berkenaan
kesahihan suatu hadits, telah banyak ilmu-ilmu yang lahir mengenainya,
seperti 'ilm ar-rijal al-hadits, 'ilm al-jarh wa at-ta'dil, ilm
at-takhrij al-hadits, dst. hingga muncullah 'ilm an-naqd al-hadits,
yang dikaji pada pembahasan ini.
Studi kritik Hadits Nabi SAW. sebagaimana dipaparkan dalam sub
"sejarah dan perkembangan", telah mengalami pertumbuhan dan
perkembangannya yang dimulai sejak zaman Nabi Muhammad SAW. Hal ini,
karena secara esensial kritik digunakan untuk mengetahui kebenaran
suatu hadits, apakah berasal langsung dari Nabi SAW. atau bikinan sang
perawi sendiri. Penelitian (kritik) tersebut, lalu diteruskan oleh
para tabi'in dan para ulama, termasuk islamolog barat, hingga saat
ini. Tentu saja, model atau metode kritiknya tidak sama persis dengan
sebelumnya, karena ia selalu berubah setiap zaman, sesuai dengan
perkembangan intelektual.
Sebagaimana dalam ilmu hadits, kritik Hadits Nabi SAW. juga mengarah
pada dua aspek, yaitu aspek sanad dan aspek matan. Karena obyek kritik
hadits adalah sumber dokumen dan teks, maka penelitiannya itu tidak
berbeda dengan penelitian sejarah. Seperti metode sejarah, kritik
sumber terbagi menjadi dua, yaitu kritik intern untuk kritik matan
(naqd al-khariji) dan kritik ekstern bagi kritik sanad (naqd
al-bathini). Untuk dapat melakukan kritik pada dua aspek tersebut,
telah digunakan berbagai metode, antara lain; metode verifikatif,
komparatif, rasional, dan kontekstual.
Penggunaan metode-metode tersebut, tentu saja tidak dapat dilepaskan
dari kaedah atau standar-standar yang telah disepakati para kritikus,
pakar ulum al-hadits, seperti al-Bagdadi, al-Adlabi, dan Jumhur 'Ulama
Hadits. Standar penelitiannya mengacu pada pengertian hadits shahih,
sebagaimana didefinisakan oleh Ibn Shalah. Dari definisi tersebut,
oleh Syuhudi Isma'il untuk memudahkannya disebut sebagai kaedah mayor
kritik sanad dan matan hadits, kemudian dari kaedah tersebut
mengandung kaedah-kaedah minor, baik untuk kririk sanad ataupun matan
hadits.
Dengan melihat perkembangannya, kritik terhadap Hadits Nabi SAW. masih
tetap mempunyai relevansi dan akurasi sampai saat ini, sehingga tidak
mengherankan jika masih sangat urgent sekali. Setidaknya, urgensitas
tersebut dilihat berbagai perkembangan kritik hadits yang ada pada
abad mutakhir, sehingga kita dapat membedakan kritik-kritik manakah
yang relevan untuk konteks saat ini, tentu saja sesuai dengan
metodologi yang dipakainya. Karena dalam kenyataannya, penelitian
dengan hadits yang sama dan alasan kritik yang sama, tetapi
menghasilkan kritik yang berbeda -sekedar tidak mengatakan bertolak
belakang--. Barangkali, itu juga termasuk salah satu urgensitas dari
masalah yang dijumpai dalam diskursus kritik Hadits Nabi SAW. masa
kontemporer.
Demikianlah, tulisan pendek mengenai studi kritik Hadits Nabi SAW.
sebagai "perngenalan" atas metodologi penelitian Hadits Nabi SAW. yang
mutakhir, khususnya setelah al-jarh wa at-ta'dil. Dengan kata lain,
dapata dikatakan, bahwa secara toeritik itu 'ilm naqd al-hadits
sedangkan dalam prakteknya menggunakan ilmu-ilmu lain, termasuk
al-jarh wa at-ta'dil.
Penulis merasa yakin bahwa tulisan ini masih terdapat kekurangan
disana-sini, karena itu tidak ada kata lain kecuali mohon maaf dan
kritik serta sarannya. Akhirnya, sesedikit apapun dari pembahasan di
atas, semoga dapat memberikan manfaat dan nuansa baru.
No comments:
Post a Comment
silahkan! protes!!! Selagi masih gratis..he he. cp 085747475779